Sabtu, 02 Juni 2012

Hujan ini memanggil kerinduan

Dari millist tetangga…………. Sepertinya habis baca langsung angkat telp…….

Langit mendung, agak istimewa hari ini karena suasana puasa di hari hari yang telah dilewati selalu bernuansa terik panas. Tetapi mendung ini tidak merubah banyak, hanya udara panas yang berkurang, sementara keramaian kendaraan, lalu lalang pejalan kaki, kesibukan polisi tidak berubah, atau sebenarnya justru malah bertambah.  Semua seperti itu sampai di Titik tetes pertama air hujan perlahan jatuh menghujam ke bumi, memenuhi undangan kerinduan Sang Tanah dan penghuninya akan siraman air langit yang menyebarkan itu. Para pejalan kaki mulai terges-gesa memacu langkahnya mencari tempat berteduh, pengendara motor beberapa menepi untuk memakai jas hujan ataupun berteduh seperti pejalan kaki, kendaraan lain ada yang mempercepat jalan selagi bisa tetapi ada juga justru melambat. Polisi dengan penuh tanggung jawab mencoba bekerja lebih keras dan cerdas memperlancar lalu lintas sebelum hujan bertambah deras dan saatnya macetpun akan hdir menjadi pemandangan yang tak termaklumi.
Benar sekali jalan mulai macet berbanding terbalik dengan lancarnya air langit yang jatuh, macet nyaris tak bergerak sedikitpun. Yang dibutuhkan saat ini adalah menyiapkan kantung kantung keluasan hati untuk menampung kekesalan yang akan juga hadir di hati yang memang tidak pernah mendewasa oleh macet.  Menghindari masuknya air hujan Si Pulan menaikkan kaca jendela kancilnya yang sedang tak berpenumpang…

Dari kaca jendela mengalir air hujan yang bermula hanya Titik Titik air, semakin banyak menjadi gumpalan air yang kemudian di tarik gravitasi bumi bergerak dari kaca bagian atas turun  membentuk garis yang tidak lurus ke bagian paling bawah kaca jendela, ke pintu mungkin juga jatuh ke aspal. Dari hanya satu garis bertambah satu demi satu garis garis yang terbentuk dari banyaknya tetes hujan yang terhempas ke kaca, garis bening, jernih tanpa warna tapi tetap menyiratkan keindahan dalam ketenangan  yang membawa lamunan ke Si Pulan kecil ketika masih dalam bayang bayang kelambu kasih sayang ibu dan ayah sepenuhnya.
Penggalan-penggalan kejadian di masa kecil hadir bak potret nyata di pandangan mata satu persatu beriring suara derai rintik hujan, dan yang terindah adalah potret senyum ibunya yang hadir ratusan kali, mungkin ribuan kali.  Bukan hanya senyuman   namun hampir semua ekspresi wajah Sang Ibu hadir, menggoreskan kenangan semua perasaan yang tersimpan di hati. Hujan ini menghadirkan kerinduan kepada Sang Ibunda tercinta, kerinduan ini mencabik cabik hati membaur bersama dinginnya alam yang mulai terasa, merindu Ibu yang jauh di seberang lautan. Masih teringat tatapan mata Sang Ibu pada Si Pulan kecil, selalu penuh perhatian, fokus mendengarkan apa yang di sampaikan, seakan di otaknya ditampiknya semua apa yang sedang difikirkan hanya untuk mendengar kata-kata yang akan keluar dari mulut anaknya.
 Kala itu jam pulang sekolah telah tiba, Si Pulan kecil yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar berbasah-basah meniti jalan ke rumahnya, hujan memang bukan halangan untuk segera menuju meja makan yang senantiasa menghidangkan makanan sederhana ibu yang rasanya selalu terasa lezat untuk ukuran lidah anak pulang sekolah.  Baru di sadari ternyata yang basah bukan hanya baju dan celana, tapi sepasang sepatu yang seharusnya besok dia pakai lagi juga basah, tas semata wayang juga basah lengkap dengan isi di dalamnya, kekhawatiran menyeruak di hati Si Pulan kecil, akankah ibunya marah besar akan hal ini ? belum lagi kalau nanti malam Bapaknya juga tahu hal itu yang tentunya akan mempersalahkan kecerobohannya itu, Ah… perjalanan pulang menjadi hal yang menggelisahkan.
Begitu bayang-bayang rumah sudah terlihat Si Pulan kecil memperlambat jalannya, rasa khawatir dan gelisah kini menjelma menjadi rasa takut yang luar biasa, akankah Ibu akan marah besar.  Dengan segala kekacauan hati Si Pulan kecil memutuskan untuk berteduh di bawah pohon rindang di pinggir jalan yang tidak jauh dari rumahnya.  Duduk jongkok memeluk tas yang basah namun masih diharapkan untuk memberi kehangatan kepada dirinya karena dingin hujan ini mulai terasa seakan menyentuh sampai ke tulang.  Tak kuasa tetes-tetes air mata mulai berjatuhan ditengah derainya air hujan di pipi Si Pulan kecil, saat itu benar-benar rasa bersalah, takut, dan dingin membuatnya menangis adalah hal yang mungkin dapat diharapkan untuk sedikit membantu melegakan hatinya.

Belumlah tangis ini menunjukkan kelegaan hati, Si Pulan kecil terkejut dengan panggialn namanya dari seorang wanita yang memakai paying tanpa alas kaki, dialah Sang Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar